0

Budaya Indonesia

Posted by eggie.gunawano on 01.27
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Kebudayaan nasional
* 2 Kebudayaan daerah
* 3 Wujud kebudayaan daerah di Indonesia
o 3.1 Rumah adat
o 3.2 Tarian
o 3.3 Lagu
o 3.4 Musik
o 3.5 Alat musik
o 3.6 Gambar
o 3.7 Patung
o 3.8 Pakaian
o 3.9 Suara
o 3.10 Sastra/tulisan
o 3.11 Makanan
o 3.12 Kebudayaan Modern Khas Indonesia
* 4 Referensi

[sunting] Kebudayaan nasional

Kebudayaan nasional secara mudah dimengerti sebagai kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:

{{cquote2|Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.[1]

Disebutkan juga pada pasal selanjutnya bahwa kebudayaan nasional juga mencermikan nilai-nilai luhur bangsa. Tampaklah bahwa batasan kebudayaan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah berorientasi pada pembangunan nasional yang dilandasi oleh semangat Pancasila.

Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.[2]

Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.

Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional. [3]
[sunting] Kebudayaan daerah

Seluruh kebudayaan daerah yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.

Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.

Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.

Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.

Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.
[sunting] Wujud kebudayaan daerah di Indonesia

Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap saerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda.
[sunting] Rumah adat
Rumah gadang, rumah adat sumatera barat

* Aceh
* Sumatera Barat : Rumah Gadang
* Sumatera Selatan : Rumah Limas
* Jawa : Joglo
* Papua : Honai
* Sulawesi Selatan : Tongkonang (Tana Toraja), Bola Soba (Bugis Bone), Balla Lompoa (Makassar Gowa)
* Sulawesi Tenggara: Istana buton
* Sulawesi Utara: Rumah Panggung
* Kalimantan Barat: Rumah Betang
* Nusa Tenggara Timur: Lopo

[sunting] Tarian

* Jawa: Bedaya, Kuda Lumping, Reog.
* Bali: Kecak, Barong/ Barongan, Pendet.
* Maluku: Cakalele, Orlapei, Katreji
* Aceh: Saman, Seudati.
* Minangkabau: Tari Piring, Tari Payung, Tari Indang, Tari Randai, Tari Lilin
* Betawi: Yapong
* Sunda: Jaipong, Reog, Tari Topeng

Tari jaipong, Tarian daerah Jawa Barat

* Timor NTT: Likurai, Bidu, Tebe, Bonet, Pado'a, Rokatenda, Caci
* Batak Toba & Suku Simalungun: Tortor
* Sulawesi Selatan: Tari Pakkarena, Tarian Anging Mamiri, Tari Padduppa, Tari 4 Etnis
* Pesisir Sibolga/Tapteng: Tari Sapu Tangan , Tari Adok , Tari Anak , Tari Pahlawan , Tari Lagu Duo , Tari Perak , Tari Payung .
* Riau : ( Persembahan, Zapin, Rentak bulian, Serampang dua Belas )
* lampung : ( bedana, sembah, tayuhan, sigegh, labu kayu )
* irian jaya:

[sunting] Lagu

* Jakarta: Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang Kangkung.
* Maluku : Rasa Sayang-sayange, Ayo Mama
* Melayu : Soleram, Tanjung Katung
* Minangkabau : Kampuang nan Jauh di Mato, Kambanglah Bungo, Indang Sungai Garinggiang
* Aceh : Bungong Jeumpa
* Ampar-Ampar Pisang (Kalimantan Selatan)
* Anak Kambing Saya (Nusa Tenggara Timur)
* Oras Loro Malirin, Sonbilo, Tebe Onana, Ofalangga, Do Hawu, Bolelebo, Lewo Ro Piring Sina, Bengu Re Le Kaju, Aku Retang, Gaila Ruma Radha Nusa Tenggara Timur
* Angin Mamiri (Sulawesi Selatan)
* Anju Ahu (Sumatera Utara)
* Apuse (Papua)
* Ayam Den Lapeh (Sumatera Barat)
* Barek Solok (Sumatera Barat)
* Batanghari (Jambi)
* Bubuy Bulan (Jawa Barat)
* Buka Pintu (Maluku)
* Bungo Bangso (Sumatera Utara)
* Bungong Jeumpa (Aceh)
* Burung Tantina (Maluku)
* Butet (Sumatera Utara)
* Cik-Cik Periuk (Kalimantan Barat)
* Cikala Le Pongpong (Sumatera Utara)
* Cing Cangkeling (Jawa Barat)
* Cuk Mak Ilang (Sumatera Selatan)
* Dago Inang Sarge (Sumatera Utara)
* Dayung Palinggam (Sumatera Barat)
* Dayung Sampan (Banten)
* Dek Sangke (Sumatera Selatan)
* Desaku (Nusa Tenggara Timur)
* Esa Mokan (Sulawesi Utara)
* Es Lilin (Jawa Barat)
* Gambang Suling (Jawa Tengah)
* Gek Kepriye (Jawa Tengah)
* Goro-Gorone (Maluku)
* Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan)
* Gundul Pacul (Jawa Tengah)
* Helele U Ala De Teang (Nusa Tenggara Barat)
* Huhatee (Maluku)
* Ilir-Ilir (Jawa Tengah)
* Indung-Indung (Kalimantan Timur)
* Injit-Injit Semut (Jambi)
* Jali-Jali (Jakarta)
* Jamuran (Jawa Tengah)
* Kabile-Bile (Sumatera Selatan)
* Kalayar (Kalimantan Tengah)
* Kambanglah Bungo (Sumatera Barat)
* Kampuang Nan Jauh Di Mato (Sumatera Barat)
* Ka Parak Tingga (Sumatera Barat)
* Karatagan Pahlawan (Jawa Barat)
* Keraban Sape (Jawa Timur)
* Keroncong Kemayoran (Jakarta)
* Kicir-Kicir (Jakarta)
* Kole-Kole (Maluku)
* Lalan Belek (Bengkulu)
* Lembah Alas (Aceh)
* Lisoi (Sumatera Utara)
* Madekdek Magambiri (Sumatera Utara)
* Malam Baiko (Sumatera Barat)
* Mande-Mande (Maluku)
* Manuk Dadali (Jawa Barat)
* Ma Rencong (Sulawesi Selatan)
* Mejangeran (Bali)
* Mariam Tomong (Sumatera Utara)
* Moree (Nusa Tenggara Barat)
* Nasonang Dohita Nadua (Sumatera Utara)
* O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara)
* Ole Sioh (Maluku)
* Orlen-Orlen (Nusa Tenggara Barat)
* O Ulate (Maluku)
* Pai Mura Rame (Nusa Tenggara Barat)
* Pakarena (Sulawesi Selatan)
* Panon Hideung (Jawa Barat)
* Paris Barantai (Kalimantan Selatan)
* Peia Tawa-Tawa (Sulawesi Tenggara)
* Peuyeum Bandung (Jawa Barat)
* Pileuleuyan (Jawa Barat)
* Pinang Muda (Jambi)
* Piso Surit (Aceh)
* Pitik Tukung (Yogyakarta)
* Flobamora, Potong Bebek Angsa (Nusa Tenggara Timur)
* Rambadia (Sumatera Utara)
* Rang Talu (Sumatera Barat)
* Rasa Sayang-Sayange (Maluku)
* Ratu Anom (Bali)
* Saputangan Bapuncu Ampat (Kalimantan Selatan)
* Sarinande (Maluku)
* Selendang Mayang (Jambi)
* Sengko-Sengko (Sumatera Utara)
* Siboga Tacinto (Sumatera Utara)
* Sinanggar Tulo (Sumatera Utara)
* Sing Sing So (Sumatera Utara)
* Sinom (Yogyakarta)
* Si Patokaan (Sulawesi Utara)
* Sitara Tillo (Sulawesi Utara)
* Soleram (Riau)
* Surilang (Jakarta)
* Suwe Ora Jamu (Yogyakarta)
* Tanduk Majeng (Jawa Timur)
* Tanase (Maluku)
* Tapian Nauli (Sumatera Utara)
* Tari Tanggai (Sumatera Selatan)
* Tebe Onana (Nusa Tenggara Barat)
* Te Kate Dipanah (Yogyakarta)
* Tokecang (Jawa Barat)
* Tondok Kadadingku (Sulawesi Tengah)
* Tope Gugu (Sulawesi Tengah)
* Tumpi Wayu (Kalimantan Tengah)
* Tutu Koda (Nusa Tenggara Barat)
* Terang Bulan (Jakarta)
* Yamko Rambe Yamko (Papua)
* Bapak Pucung (Jawa Tengah)
* Yen Ing Tawang Ono Lintang (Jawa Tengah)
* Stasiun Balapan, Didi Kempot (Jawa Tengah)
* Anging Mamiri, Sulawesi Parasanganta (Sulawesi Selatan)
* bulu londong, malluya, io-io, ma'pararuk (Sulawesi Barat)

[sunting] Musik

* Jakarta: Keroncong Tugu.
* Maluku :
* Melayu : Hadrah, Makyong, Ronggeng
* Minangkabau :
* Aceh :
* Makassar : Gandrang Bulo, Sinrilik
* Pesisir Sibolga/Tapteng : Sikambang

[sunting] Alat musik
Gamelan

* Jawa: Gamelan.
* Nusa Tenggara Timur: Sasando, Gong dan Tambur, Juk Dawan, Gitar Lio.
* Gendang Bali
* Gendang Karo
* Gendang Melayu
* Gandang Tabuik
* Sasando
* Talempong
* Tifa
* Saluang
* Rebana
* Bende
* Kenong
* Keroncong
* Serunai
* Jidor
* Suling Lembang
* Suling Sunda
* Dermenan
* Saron
* Kecapi
* Bonang
* Kendang Jawa
* Angklung
* Calung
* Kulintang
* Gong Kemada
* Gong Lambus
* Rebab
* Tanggetong
* Gondang Batak
* Kecapi, kesok-Kesok Bugis-makassar, dan sebagainya

[sunting] Gambar

* Jawa: Wayang.
* Tortor: Batak

[sunting] Patung

* Jawa: Patung Buto, patung Budha.
* Bali: Garuda.
* Irian Jaya: Asmat.

[sunting] Pakaian

* Jawa: Batik.
* Sumatra Utara: Ulos, Suri-suri, Gotong.
* Sumatra Utara, Sibolga: Anak Daro & Marapule.
* Sumatra Barat/ Melayu:
* sumatra selatanSongket
* Lampung : Tapis
* Sasiringan
* Tenun Ikat Nusa Tenggara Timur
* Bugis - MakassarBaju Bodo dan Jas Tutup, Baju La'bu

[sunting] Suara

* Jawa: Sinden.
* Sumatra: Tukang cerita.
* Talibun : (Sibolga, Sumatera Utara)

[sunting] Sastra/tulisan

* Jawa: Babad Tanah Jawa, karya-karya Ronggowarsito.
* Bali: karya tulis di atas Lontar.
* Sumatra bagian timur (Melayu): Hang Tuah
* Sulawesi Selatan Naskah Tua Lontara
* Timor Ai Babelen, Ai Kanoik

[sunting] Makanan
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar masakan Indonesia

Timor Jagung Bose, Daging Se'i, Ubi Tumis.
[sunting] Kebudayaan Modern Khas Indonesia

* Musik Dangdut: Elvie Sukaesih, Rhoma Irama.
* Film Indonesia: "Daun di Atas Bantal" (1998) yang mendapat penghargaan Film terbaik di "Asia Pacific Film Festival" di Taipei.
* Sastra: Pujangga Baru.

0

Republic of Indonesia

Posted by eggie.gunawano on 01.06
Republik Indonesia

The Republic of Indonesia (pronounced /ˌɪndoʊˈniːziə/ or /ˌɪndəˈniːʒə/) (Indonesian: Republik Indonesia) is a country in Southeast Asia and Oceania. Indonesia comprises 17,508 islands. With a population of around 230 million people, it is the world's fourth most populous country, and has the world's largest population of Muslims. Indonesia is a republic, with an elected legislature and president. The nation's capital city is Jakarta. The country shares land borders with Papua New Guinea, East Timor, and Malaysia. Other neighboring countries include Singapore, Philippines, Australia, and the Indian territory of the Andaman and Nicobar Islands.

The Indonesian archipelago has been an important trade region since at least the seventh century, when Srivijaya and then later Majapahit traded with China and India. Local rulers gradually adopted Indian cultural, religious and political models from the early centuries CE, and Hindu and Buddhist kingdoms flourished. Indonesian history has been influenced by foreign powers drawn to its natural resources. Muslim traders brought Islam, and European powers fought one another to monopolize trade in the Spice Islands of Maluku during the Age of Discovery. Following three and a half centuries of Dutch colonialism, Indonesia secured its independence after World War II. Indonesia's history has since been turbulent, with challenges posed by natural disasters, corruption, separatism, a democratization process, and periods of rapid economic change.

Across its many islands, Indonesia consists of distinct ethnic, linguistic, and religious groups. The Javanese are the largest—and the politically dominant—ethnic group. Indonesia has developed a shared identity defined by a national language, ethnic diversity, religious pluralism within a majority Muslim population, and a history of colonialism including rebellion against it. Indonesia's national motto, "Bhinneka Tunggal Ika" ("Unity in Diversity" literally, "many, yet one"), articulates the diversity that shapes the country. Despite its large population and densely populated regions, Indonesia has vast areas of wilderness that support the world's second highest level of biodiversity. The country is richly endowed with natural resources, yet poverty remains widespread in contemporary Indonesia.



Etymology

The name Indonesia derives from the Latin Indus, and the Greek nesos, meaning "island".[6] The name dates to the 18th century, far predating the formation of independent Indonesia.[7] In 1850, George Earl, an English ethnologist, proposed the terms Indunesians — and, his preference, Malayunesians — for the inhabitants of the "Indian Archipelago or Malayan Archipelago".[8] In the same publication, a student of Earl's, James Richardson Logan, used Indonesia as a synonym for Indian Archipelago.[9] However, Dutch academics writing in East Indies publications were reluctant to use Indonesia. Instead, they used the terms Malay Archipelago (Maleische Archipel); the Netherlands East Indies (Nederlandsch Oost Indië), popularly Indië; the East (de Oost); and even Insulinde.[10]

From 1900, the name Indonesia became more common in academic circles outside the Netherlands, and Indonesian nationalist groups adopted it for political expression.[11] Adolf Bastian, of the University of Berlin, popularized the name through his book Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. The first Indonesian scholar to use the name was Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), when he established a press bureau in the Netherlands with the name Indonesisch Pers-bureau in 1913.


History


Fossilized remains of Homo erectus, popularly known as the "Java Man", suggest that the Indonesian archipelago was inhabited two million to 500,000 years ago.[12] Austronesian people, who form the majority of the modern population, migrated to South East Asia from Taiwan. They arrived in Indonesia around 2000 BCE, and as they spread through the archipelago, confined the native Melanesian peoples to the far eastern regions.[13] Ideal agricultural conditions, and the mastering of wet-field rice cultivation as early as the eighth century BCE,[14] allowed villages, towns, and small kingdoms to flourish by the first century CE. Indonesia's strategic sea-lane position fostered inter-island and international trade. For example, trade links with both Indian kingdoms and China were established several centuries BCE.[15] Trade has since fundamentally shaped Indonesian history.[16]
The nutmeg plant is native to Indonesia's Banda Islands. Once one of the world's most valuable commodities, it drew the first European colonial powers to Indonesia.

From the seventh century CE, the powerful Srivijaya naval kingdom flourished as a result of trade and the influences of Hinduism and Buddhism that were imported with it.[17] Between the eighth and 10th centuries CE, the agricultural Buddhist Sailendra and Hindu Mataram dynasties thrived and declined in inland Java, leaving grand religious monuments such as Sailendra's Borobudur and Mataram's Prambanan. The Hindu Majapahit kingdom was founded in eastern Java in the late 13th century, and under Gajah Mada, its influence stretched over much of Indonesia; this period is often referred to as a "Golden Age" in Indonesian history.[18]

Although Muslim traders first traveled through South East Asia early in the Islamic era, the earliest evidence of Islamized populations in Indonesia dates to the 13th century in northern Sumatra.[19] Other Indonesian areas gradually adopted Islam, and it was the dominant religion in Java and Sumatra by the end of the 16th century. For the most part, Islam overlaid and mixed with existing cultural and religious influences, which shaped the predominant form of Islam in Indonesia, particularly in Java.[20] The first Europeans arrived in Indonesia in 1512, when Portuguese traders, led by Francisco Serrão, sought to monopolize the sources of nutmeg, cloves, and cubeb pepper in Maluku.[21] Dutch and British traders followed. In 1602 the Dutch established the Dutch East India Company (VOC) and became the dominant European power. Following bankruptcy, the VOC was formally dissolved in 1800, and the government of the Netherlands established the Dutch East Indies as a nationalized colony.[21]

For most of the colonial period, Dutch control over the archipelago was tenuous outside of coastal strongholds; only in the early 20th century did Dutch dominance extend to what was to become Indonesia's current boundaries.[22] The Japanese invasion and subsequent occupation during World War II[23] ended Dutch rule,[24] and encouraged the previously suppressed Indonesian independence movement.[25] Two days after the surrender of Japan in August 1945, Sukarno, an influential nationalist leader, declared independence and was appointed president.[26] The Netherlands tried to reestablish their rule, and an armed and diplomatic struggle ended in December 1949, when in the face of international pressure, the Dutch formally recognized Indonesian independence[27] (with the exception of The Dutch territory of West New Guinea, which was incorporated into Indonesia following the 1962 New York Agreement, and the UN-mandated Act of Free Choice of 1969).[28]
Soekarno, Indonesia's founding president

Sukarno moved from democracy towards authoritarianism, and maintained his power base by balancing the opposing forces of the Military and the Communist Party of Indonesia (PKI).[29] An attempted coup on 30 September 1965 was countered by the army, who led a violent anti-communist purge, during which the PKI was blamed for the coup and effectively destroyed.[30] Between 500,000 and one million people were killed.[31] The head of the military, General Suharto, out-maneuvered the politically weakened Sukarno, and was formally appointed president in March 1968. His New Order administration[32] was supported by the US government,[33] and encouraged foreign direct investment in Indonesia, which was a major factor in the subsequent three decades of substantial economic growth.[34] However, the authoritarian "New Order" was widely accused of corruption and suppression of political opposition.

In 1997 and 1998, Indonesia was the country hardest hit by the Asian Financial Crisis.[35] This increased popular discontent with the New Order[36] and led to popular protests. Suharto resigned on 21 May 1998.[37] In 1999, East Timor voted to secede from Indonesia, after a twenty-five-year military occupation that was marked by international condemnation of often brutal repression of the East Timorese.[38] Since Suharto's resignation, a strengthening of democratic processes has included a regional autonomy program, and the first direct presidential election in 2004. Political and economic instability, social unrest, corruption, and terrorism have slowed progress. Although relations among different religious and ethnic groups are largely harmonious, acute sectarian discontent and violence remain problems in some areas.[39] A political settlement to an armed separatist conflict in Aceh was achieved in 2005.



Government and Politics


Indonesia is a republic with a presidential system. As a unitary state, power is concentrated in the central government. Following the resignation of President Suharto in 1998, Indonesian political and governmental structures have undergone major reforms. Four amendments to the 1945 Constitution of Indonesia[41] have revamped the executive, judicial, and legislative branches.[42] The president of Indonesia is the head of state, commander-in-chief of the Indonesian National Armed Forces, and the director of domestic governance, policy-making, and foreign affairs. The president appoints a council of ministers, who are not required to be elected members of the legislature. The 2004 presidential election was the first in which the people directly elected the president and vice president.[43] The president may serve a maximum of two consecutive five-year terms.[44]
A session of the People's Representative Council in Jakarta

The highest representative body at national level is the People's Consultative Assembly (MPR). Its main functions are supporting and amending the constitution, inaugurating the president, and formalizing broad outlines of state policy. It has the power to impeach the president.[45] The MPR comprises two houses; the People's Representative Council (DPR), with 560 members, and the Regional Representative Council (DPD), with 132 members.[46] The DPR passes legislation and monitors the executive branch; party-aligned members are elected for five-year terms by proportional representation.[42] Reforms since 1998 have markedly increased the DPR's role in national governance.[47] The DPD is a new chamber for matters of regional management.[48]

Most civil disputes appear before a State Court; appeals are heard before the High Court. The Supreme Court is the country's highest court, and hears final cassation appeals and conducts case reviews. Other courts include the Commercial Court, which handles bankruptcy and insolvency; a State Administrative Court to hear administrative law cases against the government; a Constitutional Court to hear disputes concerning legality of law, general elections, dissolution of political parties, and the scope of authority of state institutions; and a Religious Court to deal with specific religious cases.


Administrative divisions


Administratively, Indonesia consists of 33 provinces, five of which have special status. Each province has its own political legislature and governor. The provinces are subdivided into regencies (kabupaten) and cities (kota), which are further subdivided into subdistricts (kecamatan), and again into village groupings (either desa or kelurahan). Following the implementation of regional autonomy measures in 2001, the regencies and cities have become the key administrative units, responsible for providing most government services. The village administration level is the most influential on a citizen's daily life, and handles matters of a village or neighborhood through an elected lurah or kepala desa (village chief).

The provinces of Aceh, Jakarta, Yogyakarta, and West Papua have greater legislative privileges and a higher degree of autonomy from the central government than the other provinces. The Acehnese government, for example, has the right to create an independent legal system; in 2003, it instituted a form of Sharia (Islamic law).[61] Yogyakarta was granted the status of Special Region in recognition of its pivotal role in supporting Indonesian Republicans during the Indonesian Revolution.[62] Papua, formerly known as Irian Jaya, now West Papua, was granted special autonomy status in 2001.[63] Jakarta is the country's special capital region.

Indonesian provinces and their capitals - listed by region
(Indonesian name in parentheses if different from English)
† indicates provinces with Special Status

Sumatra


* Aceh- (Nanggröe Aceh Darussalam) – Banda Aceh
* North Sumatra (Sumatera Utara) – Medan
* West Sumatra (Sumatera Barat) – Padang
* Riau – Pekanbaru
* Riau Islands (Kepulauan Riau) – Tanjung Pinang
* Jambi – Jambi (city)
* South Sumatra (Sumatera Selatan) – Palembang
* Bangka-Belitung (Kepulauan Bangka-Belitung) – Pangkal Pinang
* Bengkulu – Bengkulu (city)
* Lampung – Bandar Lampung

Java

* Jakarta† – Jakarta
* Banten – Serang
* West Java (Jawa Barat) – Bandung
* Central Java (Jawa Tengah) – Semarang
* Yogyakarta Special Region† – Yogyakarta (city)
* East Java (Jawa Timur) – Surabaya


Lesser Sunda Islands


* Bali – Denpasar
* West Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat) – Mataram
* East Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Timur) – Kupang



Kalimantan

* West Kalimantan (Kalimantan Barat) – Pontianak
* Central Kalimantan (Kalimantan Tengah) – Palangkaraya
* South Kalimantan (Kalimantan Selatan) – Banjarmasin
* East Kalimantan (Kalimantan Timur) – Samarinda

Sulawesi

* North Sulawesi (Sulawesi Utara) – Manado
* Gorontalo – Gorontalo (city)
* Central Sulawesi (Sulawesi Tengah) – Palu
* West Sulawesi (Sulawesi Barat) – Mamuju
* South Sulawesi (Sulawesi Selatan) – Makassar
* South East Sulawesi (Sulawesi Tenggara) – Kendari

Maluku Islands

* Maluku – Ambon
* North Maluku (Maluku Utara) – Ternate


Western New Guinea


* West Papua† (Papua Barat) – Manokwari
* Papua† – Jayapura

Geography
Main article: Geography of Indonesia
Map of Indonesia

Indonesia consists of 17,508 islands, about 6,000 of which are inhabited.[64] These are scattered over both sides of the equator. The five largest islands are Java, Sumatra, Kalimantan (the Indonesian part of Borneo), New Guinea (shared with Papua New Guinea), and Sulawesi. Indonesia shares land borders with Malaysia on the islands of Borneo and Sebatik, Papua New Guinea on the island of New Guinea, and East Timor on the island of Timor. Indonesia also shares borders with Singapore, Malaysia, and the Philippines to the north and Australia to the south across narrow straits of water. The capital, Jakarta, is on Java and is the nation's largest city, followed by Surabaya, Bandung, Medan, and Semarang.[65]

At 1,919,440 square kilometers (741,050 sq mi), Indonesia is the world's 16th-largest country in terms of land area.[66] Its average population density is 134 people per square kilometer (347 per sq mi), 79th in the world,[67] although Java, the world's most populous island,[68] has a population density of 940 people per square kilometer (2,435 per sq mi). At 4,884 metres (16,024 ft), Puncak Jaya in Papua is Indonesia's highest peak, and Lake Toba in Sumatra its largest lake, with an area of 1,145 square kilometers (442 sq mi). The country's largest rivers are in Kalimantan, and include the Mahakam and Barito; such rivers are communication and transport links between the island's river settlements.[69]
Mount Semeru and Mount Bromo in East Java. Indonesia's seismic and volcanic activity is among the world's highest.

Indonesia's location on the edges of the Pacific, Eurasian, and Australian tectonic plates makes it the site of numerous volcanoes and frequent earthquakes. Indonesia has at least 150 active volcanoes,[70] including Krakatoa and Tambora, both famous for their devastating eruptions in the 19th century. The eruption of the Toba supervolcano, approximately 70,000 years ago, was one of the largest eruptions ever, and a global catastrophe. Recent disasters due to seismic activity include the 2004 tsunami that killed an estimated 167,736 in northern Sumatra,[71] and the Yogyakarta earthquake in 2006. However, volcanic ash is a major contributor to the high agricultural fertility that has historically sustained the high population densities of Java and Bali.[72]

Lying along the equator, Indonesia has a tropical climate, with two distinct monsoonal wet and dry seasons. Average annual rainfall in the lowlands varies from 1,780–3,175 millimeters (70–125 in), and up to 6,100 millimeters (240 in) in mountainous regions. Mountainous areas—particularly in the west coast of Sumatra, West Java, Kalimantan, Sulawesi, and Papua—receive the highest rainfall. Humidity is generally high, averaging about 80%. Temperatures vary little throughout the year; the average daily temperature range of Jakarta is 26–30 °C (79–86 °F).[73]


Biota and environment
Main articles: Fauna of Indonesia, Flora of Indonesia, and Environment of Indonesia
The critically endangered Sumatran Orangutan, a great ape endemic to Indonesia.


Indonesia's size, tropical climate, and archipelagic geography, support the world's second highest level of biodiversity (after Brazil),[74] and its flora and fauna is a mixture of Asian and Australasian species.[75] Once linked to the Asian mainland, the islands of the Sunda Shelf (Sumatra, Java, Borneo, and Bali) have a wealth of Asian fauna. Large species such as the tiger, rhinoceros, orangutan, elephant, and leopard, were once abundant as far east as Bali, but numbers and distribution have dwindled drastically. Forests cover approximately 60% of the country.[76] In Sumatra and Kalimantan, these are predominantly of Asian species. However, the forests of the smaller, and more densely populated Java, have largely been removed for human habitation and agriculture. Sulawesi, Nusa Tenggara, and Maluku—having been long separated from the continental landmasses—have developed their own unique flora and fauna.[77] Papua was part of the Australian landmass, and is home to a unique fauna and flora closely related to that of Australia, including over 600 bird species.[78]

Indonesia is second only to Australia in its degree of endemism, with 26% of its 1,531 species of bird and 39% of its 515 species of mammal being endemic.[79] Indonesia's 80,000 kilometers (50,000 mi) of coastline are surrounded by tropical seas that contribute to the country's high level of biodiversity. Indonesia has a range of sea and coastal ecosystems, including beaches, sand dunes, estuaries, mangroves, coral reefs, sea grass beds, coastal mudflats, tidal flats, algal beds, and small island ecosystems.[6] The British naturalist, Alfred Wallace, described a dividing line between the distribution and peace of Indonesia's Asian and Australasian species.[80] Known as the Wallace Line, it runs roughly north-south along the edge of the Sunda Shelf, between Kalimantan and Sulawesi, and along the deep Lombok Strait, between Lombok and Bali. West of the line the flora and fauna are more Asian; moving east from Lombok, they are increasingly Australian. In his 1869 book, The Malay Archipelago, Wallace described numerous species unique to the area.[81] The region of islands between his line and New Guinea is now termed Wallacea.[80]

Indonesia's high population and rapid industrialization present serious environmental issues, which are often given a lower priority due to high poverty levels and weak, under-resourced governance.[82] Issues include large-scale deforestation (much of it illegal) and related wildfires causing heavy smog over parts of western Indonesia, Malaysia and Singapore; over-exploitation of marine resources; and environmental problems associated with rapid urbanization and economic development, including air pollution, traffic congestion, garbage management, and reliable water and waste water services.[82] Deforestation and the destruction of peatlands make Indonesia the world's third largest emitter of greenhouse gases.[83] Habitat destruction threatens the survival of indigenous and endemic species, including 140 species of mammals identified by the World Conservation Union (IUCN) as threatened, and 15 identified as critically endangered, including the Sumatran Orangutan.[84]

Economy
Main article: Economy of Indonesia
Using water buffalo to plough rice fields in Java. Agriculture has been the country's largest employer for centuries.


Indonesia is the largest economy in Southeast Asia and a member of the G-20 major economies.[85] Indonesia's estimated gross domestic product (nominal) for 2008 was US$511.7 billion with estimated nominal per capita GDP was US$2,246, and per capita GDP PPP was US$3,979 (international dollars).[86] The services sector is the economy's largest and accounts for 45.3% of GDP (2005). This is followed by industry (40.7%) and agriculture (14.0%).[87] However, agriculture employs more people than other sectors, accounting for 44.3% of the 95 million-strong workforce. This is followed by the services sector (36.9%) and industry (18.8%).[88] Major industries include petroleum and natural gas, textiles, apparel, and mining. Major agricultural products include palm oil, rice, tea, coffee, spices, and rubber.

Indonesia's main export markets (2005) are Japan (22.3%), the United States (13.9%), China (9.1%), and Singapore (8.9%). The major suppliers of imports to Indonesia are Japan (18.0%), China (16.1%), and Singapore (12.8%). In 2005, Indonesia ran a trade surplus with export revenues of US$83.64 billion and import expenditure of US$62.02 billion. The country has extensive natural resources, including crude oil, natural gas, tin, copper, and gold. Indonesia's major imports include machinery and equipment, chemicals, fuels, and foodstuffs.[89]
Jakarta, the capital of Indonesia and the country's largest commercial center

In the 1960s, the economy deteriorated drastically as a result of political instability, a young and inexperienced government, and economic nationalism, which resulted in severe poverty and hunger.[90] Following President Sukarno's downfall in the mid-1960s, the New Order administration brought a degree of discipline to economic policy that quickly brought inflation down, stabilized the currency, rescheduled foreign debt, and attracted foreign aid and investment.[91] Indonesia is Southeast Asia's only member of OPEC, and the 1970s oil price raises provided an export revenue windfall that contributed to sustained high economic growth rates.[92] Following further reforms in the late 1980s,[93] foreign investment flowed into Indonesia, particularly into the rapidly developing export-oriented manufacturing sector, and from 1989 to 1997, the Indonesian economy grew by an average of over 7%.[94]

Indonesia was the country hardest hit by the East Asian financial crisis of 1997–98. Against the US dollar, the Rupiah dropped from about Rp. 2,600 to a low point of 14,000, and the economy shrank by 13.7%.[95] The Rupiah has since stabilised in the Rp. 8,000 to 10,000 range,[96] and a slow but significant economic recovery has ensued. However, political instability, slow economic reform, and corruption at all levels of government and business, have slowed the recovery.[5][97] Transparency International ranked Indonesia 143rd out of 180 countries in its 2007 Corruption Perceptions Index.[98] The rank dropped to 111st out of 180 in 2009[99] GDP growth, however, exceeded 5% in both 2004 and 2005, and is forecast to increase further.[100] This growth rate, however, was not enough to make a significant impact on unemployment,[101] and stagnant wages growth and increases in fuel and rice prices have worsened poverty levels. As of 2006, an estimated 17.8% of the population was living below the poverty line, defined by the Indonesian government as purchasing power parity of US$1.55 per day (household income). According to the 2006 estimates, nearly half of the population was living on less than US$2 per day.[102] In recent years, the strongest growth rates since the Suharto years have helped the unemployment rate decline to 8.46% in 2008,[103] and in comparison to its neighbours, Indonesia has been less affected by the recent global recession.[104]

Demographics
Main articles: Demographics of Indonesia, Languages of Indonesia, and Religion in Indonesia


The national population from the 2000 national census is 206 million,[105] and the Indonesian Central Statistics Bureau and Statistics Indonesia estimate a population of 222 million for 2006.[106] 130 million people live on the island of Java, the world's most populous island.[107] Despite a fairly effective family planning program that has been in place since the 1960s, the population is expected to grow to around 254 million by 2020 and 288 million by 2050.[108]
An ethnic Minangkabau woman in traditional dress. There are around 300 distinct native ethnicities in Indonesia.

Most Indonesians are descended from Austronesian-speaking peoples whose languages can be traced to Proto Austronesian (PAn), which likely originated on Taiwan. The other major grouping are Melanesians, who inhabit eastern Indonesia.[109] There are around 300 distinct native ethnicities in Indonesia, and 742 different languages and dialects.[110] The largest ethnic group is the Javanese, who comprise 42% of the population, and are politically and culturally dominant.[111] The Sundanese, ethnic Malays, and Madurese are the largest non-Javanese groups.[112] A sense of Indonesian nationhood exists alongside strong regional identities.[113] Society is largely harmonious, although social, religious and ethnic tensions have triggered horrendous violence.[114] Chinese Indonesians are an influential ethnic minority comprising less than 1% of the population.[115] Much of the country's privately owned commerce and wealth is Chinese-controlled,[116] which has contributed to considerable resentment, and even anti-Chinese violence.[117]
The Istiqlal Mosque and Jakarta Cathedral in Central Jakarta. Indonesia has the world's largest population of Muslims

The official national language, Indonesian, is universally taught in schools, and consequently is spoken by nearly every Indonesian. It is the language of business, politics, national media, education, and academia. It was constructed from a lingua franca that was in wide use throughout the region, and is thus closely related to Malay which is an official language in Malaysia, Brunei, and Singapore. Indonesian was first promoted by nationalists in the 1920s, and declared the official language on the proclamation of independence in 1945. Most Indonesians speak at least one of the several hundred local languages (bahasa daerah), often as their first language. Of these, Javanese is the most widely spoken as the language of the largest ethnic group.[89] On the other hand, Papua has over 270 indigenous Papuan and Austronesian languages,[118] in a region of about 2.7 million people. A significant fraction of the people who attended school before independence can speak Dutch to some extent.[119]

Although religious freedom is stipulated in the Indonesian constitution,[120] the government officially recognizes only six religions: Islam, Protestantism, Roman Catholicism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism.[121] Although it is not an Islamic state, Indonesia is the world's most populous Muslim-majority nation, with 86.1% of Indonesians declared Muslim according to the 2000 census.[89] 8.7% of the population is Christian,[122] 3% are Hindu, and 1.8% Buddhist or other. Most Indonesian Hindus are Balinese,[123] and most Buddhists in modern-day Indonesia are ethnic Chinese.[124] Though now minority religions, Hinduism and Buddhism remain defining influences in Indonesian culture. Islam was first adopted by Indonesians in northern Sumatra in the 13th century, through the influence of traders, and became the country's dominant religion by the 16th century.[125] Roman Catholicism was brought to Indonesia by early Portuguese colonialists and missionaries,[126] and the Protestant denominations are largely a result of Dutch Calvinist and Lutheran missionary efforts during the country's colonial period.[127] A large proportion of Indonesians—such as the Javanese abangan, Balinese Hindus, and Dayak Christians—practice a less orthodox, syncretic form of their religion, which draws on local customs and beliefs.[128]

Culture
Main article: Culture of Indonesia
A Wayang kulit shadow puppet performance as seen by the audience


Indonesia has around 300 ethnic groups, each with cultural differences developed over centuries, and influenced by Indian, Arabic, Chinese, Malay, and European sources. Traditional Javanese and Balinese dances, for example, contain aspects of Hindu culture and mythology, as do wayang kulit (shadow puppet) performances. Textiles such as batik, ikat and songket are created across Indonesia in styles that vary by region. The most dominant influences on Indonesian architecture have traditionally been Indian; however, Chinese, Arab, and European architectural influences have been significant.

Sports in Indonesia are generally male-orientated and spectator sports are often associated with illegal gambling.[129] The most popular sports are badminton and football. Indonesian teams have won the Thomas Cup (the world team championship of men's badminton) thirteen of the twenty-five times that it has been held since 1949, as well as Olympic medals since the sport gained full Olympic status in 1992. Its women have won the Uber Cup, the female equivalent of the Thomas Cup, twice, in 1994 and 1996. Liga Indonesia is the country's premier football club league. Traditional sports include sepak takraw, and bull racing in Madura. In areas with a history of tribal warfare, mock fighting contests are held, such as, caci in Flores, and pasola in Sumba. Pencak Silat is an Indonesian martial art.
A selection of Indonesian food, including Soto Ayam (chicken soup), sate kerang (shellfish kebabs), telor pindang (preserved eggs), perkedel (fritter), and es teh manis (sweet iced tea)

Indonesian cuisine varies by region and is based on Chinese, European, Middle Eastern, and Indian precedents.[130] Rice is the main staple food and is served with side dishes of meat and vegetables. Spices (notably chili), coconut milk, fish and chicken are fundamental ingredients.[131] Indonesian traditional music includes gamelan and keroncong. Dangdut is a popular contemporary genre of pop music that draws influence from Arabic, Indian, and Malay folk music. The Indonesian film industry's popularity peaked in the 1980s and dominated cinemas in Indonesia,[132] although it declined significantly in the early 1990s.[133] Between 2000 and 2005, the number of Indonesian films released each year has steadily increased.[132]

The oldest evidence of writing in Indonesia is a series of Sanskrit inscriptions dated to the 5th century CE. Important figures in modern Indonesian literature include: Dutch author Multatuli, who criticized treatment of the Indonesians under Dutch colonial rule; Sumatrans Muhammad Yamin and Hamka, who were influential pre-independence nationalist writers and politicians;[134] and proletarian writer Pramoedya Ananta Toer, Indonesia's most famous novelist.[135] Many of Indonesia's peoples have strongly rooted oral traditions, which help to define and preserve their cultural identities.[136]

Media freedom in Indonesia increased considerably after the end of President Suharto's rule, during which the now-defunct Ministry of Information monitored and controlled domestic media, and restricted foreign media.[137] The TV market includes ten national commercial networks, and provincial networks that compete with public TVRI. Private radio stations carry their own news bulletins and foreign broadcasters supply programs. At a reported 25 million users in 2008,[138] Internet usage was estimated at 12.5% in September 2009.[139]

1

Makanan Khas Indonesia

Posted by eggie.gunawano on 01.04
Makanan
[sunting] Aceh

* Gulee Itik
* Timpan
* Gulee Kepala Ikan Rambeu
* Kanji Rumbi
* Gulee Sirip Hiu
* Mi Aceh
* Nasi Goreng Aceh
* Dalca
* Kare Kameng
* Ungkut Kayee
* Gulee Pliek U
* Nasi Gurih
* Pulut
* Tumis Eungket Sure
* Manok Boh Jantung
* Dedah Boh Itik
* Gulee Sie Reuboh
* I Boh Timun
* Kopi Sanger
* Rujak U' Groeh
* Boh Rom Rom
* Martabak Aceh
* Bubur Kanji Rumbi

[sunting] Sumatera Utara

* Angsle
* Tuak
* Lemang
* Arsik
* Uyen
* Tok-tok
* Sambel hebi
* Roti Ketawa
* Bika Ambon
* Bolu gulung
* Lapis legit
* Kwetiau
* Pangsit
* Pok pia
* Pisang molen
* Saksang
* Tanggo-tanggo
* Mutiara Bagan Siapi-api
* Soto Medan
* Lappet
* Ombus-Ombus
* Sangsang
* Naniura
* Arsik
* Lomok-Lomok
* Kidu-Kidu
* Babi Panggang Karo
* Cipera
* Cimpa

[sunting] Sumatera Barat

* Rendang
* Dendeng Balado
* Dendeng Batokok
* Gulai Joriang Batokok
* Gulai Paku
* Gulai Toco
* Pangek Masin
* Pangek Padeh atau Asam Padeh
* Kalio Dagiang
* Gulai Itiak
* Sambalado Tanak
* Gulai Banak
* Cancang
* Ikan Balado
* Ikan Baka
* Gulai Kambiang
* Soto padang
* Goreng Baluik
* Goreng Lauak
* Gulai Pucuak Ubi
* Gulai Cubadak
* Sate Padang
* Sate Pariaman
* Sate Padangpanjang
* Lontong Pitalah
* Lamang Tapai
* Katan Durian
* Katan Sarikayo
* Bubua Kampiun
* Bubua Kacang Padi
* Galamai
* Wajik
* Kipang Kacang
* Bareh Randang
* Rakik Maco
* Karupuak Balado
* Karupuak Sanjai
* Karupuak Jengkol/Joriang
* Palai Rinuak
* Pergedel Jaguang
* Pensi
* Sarabi
* Kue Putu
* Bika
* Sarang Balam
* Batiah
* Lamang Limo Kaum
* Dakak-Dakak Simabua
* Putu Padangpanjang
* Es Tebak
* Es Campua
* Teh Talua
* Sambal Ijo
* Ayam Pop
* Telor Balado
* Minyak Batanak
* Tolu-Tolu
* Sagon Bakar
* Gomok Bakar
* Ale-Ale
* Kalio Ayam
* Paru Goreng
* Gulai Kemumu
* Samouang
* Gulai Otak
* Ayam Bakar/Panggang
* Balado Bawal
* Daging Cuka Kering
* Sate Gadang

[sunting] Jambi

* Tempoyak
* Bolu Kojo
* Bolu Musibah
* Sele Nenas
* Gelamai Perentak
* Panggang Ikan Mas
* Sambal Blacan
* Rendang Ayam

[sunting] Sumatera Selatan
[sunting] Peganan

* Burgo
* Bolu Lapis
* Bolu Kojo
* Bolu 8 Jam
* Bolu Lapis
* Engkak Ketan
* Celimpungan
* Empek-empek/pempek
* Empek-empek Kapal Selam
* Empek-empek Lenjer
* Empek-empek Lenggang
* Empek-empek Kulit
* Empek-empek Adaan
* Empek-empek Tahu
* Empek-empek Kerupuk
* Empek-empek Pistel
* Empek-empek Panggang
* Wajik Ketan
* Juadah Ketan
* Kerupuk
* Kemplang Goreng
* Kemplang Panggang
* Lempok Duren
* Tekwan
* Model
* Mi Celor
* Lepat Pisang
* Lakso
* Lenggang
* Maksuba
* Otak-Otak
* Srikayo
* Tekwan

[sunting] Masakan

* Gulai Malbi
* Pindang Daging/Tulang
* Brengkes Udang
* Gangan Udang
* Gulai Tempoyak
* Brengkes
* Brengkes Tempoyak
* Ikan Pakasam
* Ikan Peda
* Ikan Rusip
* Pindang Ikan
* Ikan Pais
* Ikan Salai
* Pindang Salai
* Sayur Kasam
* Kluntup
* Pindang Jamur
* Sambal Goreng Campur
* Sambal Lingkung
* Sambal Kemang
* Sambal Kweni
* Sambal Mbacang
* Tempoyak
* Nasi Minyak
* Nasi Samin
* Nasi Lemak

[sunting] Minuman

* Es Kacang Merah

[sunting] Riau

* Asam Padeh Ikan Baung (Ikan Patin)
* Ayam Goreng Balado
* Tempe Goreng Balado
* Teri Masak Asam Padeh
* Teri Lado Mudo
* Gendar Ketan Hitam
* Bangket Durian
* Kue Bangket Jeruk Nipis
* Juice Jagung Manis
* Air Mata Pengantin
* Laksamana Mengamuk
* Lenggang
* Kue 8 Jam
* Pais Udang
* Sayur Kasam
* Kluntup
* Pindang Jamur
* Sambal Goreng Campur

[sunting] Lampung

* Joglosemar
* Keripik Pisang

[sunting] Banten

* Taoge Goreng
* Emping
* Sate Bandeng
* otak-otak
* Nasi Sumsum
* Rabeg
* Jojorong
* Cuwer
* Gipang
* Apem Putih
* Keceprek Melinjo

[sunting] DKI Jakarta

* Soto Betawi
* Kerak Telor
* Sop Kaki Kambing
* Pindang Serani
* Pecak Salak
* Sayur Gabus Pucung
* Pecak Gurame
* Pindang Serani
* Semur Jengkol
* Sayur Besan
* Gado-gado Boplo
* Es Doger
* Es Teler
* Telubuk Sayur
* Pesmo Gurami
* Talam Udang
* Begana
* Nasi Goreng Kambing
* Nasi Uduk
* Ketoprak
* Bubur Ayam Betawi
* Nasi Bukhari
* Lontong Sayur Khas Betawi
* Semur Terung Betawi
* Kroket
* Bir Pletok
* Rujak Bebeg
* Taoge Goreng
* Dodol Legit
* Emping
* Roti Buaya
* Asinan Jakarta
* Geplak
* Ongol-Ongol
* Gado-gado
* Kue Rangi
* Soto Mi
* Risoles
* Banding Bakar Marunda
* Capsay Petai
* Kimlo
* Marak
* Bagane
* Nasi Kebuli
* Sayur Bebanci
* Kue Pepe
* Semur Betawi
* Nasi Goreng Gila

[sunting] Jawa Barat
[sunting] Bandung-Priangan

* Karedok
* Soto Bandung
* Batagor
* Es Doger
* Empal Gentong
* Laksa Bogor
* Bakso kocok
* Lotek
* Serabi
* Uli Bakar
* Colenak
* Tahu Sumedang
* Combro
* Colenak
* Misro
* Mie Kocok
* Nasi Timbel
* Sayur Asem
* Pepes Jamur
* Gurame Bakar
* Jagung Bakar
* Pepes Ikan Mas
* Serabi Oncom
* Ladu
* Pisang molen
* Peuyeum
* Roti Unyil
* Cireng
* Soto Mie
* Toge Goreng Jasinga Bogor
* Asinan Sukasari
* Gepuk
* Sambel Oncom
* Sayur Asam Kacang Merah
* Bajigur
* Es Goyobod

* Bala-bala
* Gehu

[sunting] Cirebon

* Sega Jamblang
* Sega Lengko
* Empal Gentong
* Tahu gejrot

[sunting] Bogor

* Laksa
* Bir Kocok
* Serabi Bogor
* Tauge Goreng

[sunting] Jawa Tengah

* Kota Bondowoso: Tape (Tapai)
* Kota Jember: Suwar-suwir
* Kota Kediri: Tahu
* Kota Lamongan: Tahu campur
* Kota Madiun: Pecel
* Kota Bojonegoro: Ledre ( kue / keripik pisang raja )
* Kota Pekalongan: Megono
* Kota Purwokerto: Mendoan

[sunting] Semarang

* Lumpia/Lumpia Semarang, Tahu Pong, Tahu Gimbal

[sunting] Banyumas

* Sroto Sokaraja
* Gethuk goreng
* Tempe mendoan
* Lanting
* Sate Ambal
* Jenang Jaket
* Nopya
* Mino

[sunting] Slawi

* Tahu Pletok

[sunting] Jepara

* Bangket
* Adon-adon coro
* Sop Udang
* Lontong Campur
* Horog-horog
* Es Cendol

[sunting] Pesisir Utara

* Soto Kudus
* Soto Tegal
* Sate Tegal
* Soto Semarang
* Lumpia Semarang
* Taoto
* Pindang
* Garang Asem
* Nasi megono
* Nasi Grombyang
* Nasi Gandul
* Sego Goreng Babat Semarang
* Tahu Gimbal Semarang

[sunting] Solo

* Nasi Liwet
* Ayam Areh
* Tempe Tahu Bacem
* Sayur Labu Siam
* Timlo
* Dawet
* Intip Goreng
* Usus Goreng
* Tengkleng
* Mi Toprak
* Nasi Tumpang
* Gempol Pleret
* Ampyang
* Serabi Notosuman
* Semar Mendem
* Kulit Ayam Goreng
* Sosis Solo
* Wedang Dongo
* Nasi Tumpang
* Soto Gading
* Sate Buntel
* Ampyang Kacang
* Karak
* Bebek Balap

[sunting] Yogyakarta

* Gudeg
* Nasi Pecel
* Opor Ayam
* Tongseng
* Cabuk Rambak
* Jadah Bacem
* Rujak Degan
* Bacem Ayam
* Kipo
* Lontong Kikil
* Bakmoy
* Gado-Gado
* Bakmi Jawa
* Yangko
* Sagon Ala Kota Gede
* Bebek Kremes
* Tumpeng
* Mangut Lele
* Geplak
* Sate Kocor
* Selat
* Lumpia Trubus
* Jadah Manten
* Opor Telur
* Sambel Goreng Krecek
* Roti Jok
* Bakpia
* Pecel
* Legomoro
* Wajik
* Nasi kucing
* Mi Tektek
* Bakpia
* Trancam
* Sate Winong
* Tempe Gembus
* Sate Manis
* Mega Mendung
* Bakmi Godog
* Sambal Goreng Krecek Kacang Tolo
* Bebek Suwar-Suwir
* Beer Djawa
* Urap
* Tempe Benguk
* Mendut
* Getuk
* Dendeng Age
* Growol
* Nasi Goreng Magelang

[sunting] Jawa Timur

* Rawon
* Bakso
* Sate Ayam
* Soto Lamongan
* Soto Kediri
* Tumpang
* Rujak Soto
* Rujak Cingur
* Pecel Madiun
* Lontong Balap
* Jenang Apel
* Semanggi
* Tahu Lontong
* Tahu campur
* Tahu Tek
* Soto Madura
* Gado Gado
* Sego Gobyos
* Bata Anget
* Pottre Nyellem
* Nom Aeng
* Pokak Syarifah
* Wedang Sekojo
* Lepet Jagung
* Nasi Krawu
* Nasi Blawu
* Rempih Danggur
* Tahu Wa
* Teh Jahe Keningar
* Tempe Penyet
* Sego Tempong
* Es Karet
* Nasi Becek
* Nasi Boranan
* Rujak Cingur
* Semanggi

[sunting] Madura

* Gulai
* Ja'pe Ayam
* Massa'pote
* Pedda
* Manto Keponakan
* Gangsa
* Maghadip
* Musawaroh
* Putre Nyelem
* Nomoeng
* Klepon
* Podak
* Bakwan Malang
* Tahu Kediri
* Kue Dolar
* Sate

[sunting] Bali
[sunting] Makanan

* Ayam betutu
* Babi guling
* Bandot
* Be Kokak Mekuah
* Be Pasih mesambel matah
* Bebek betutu
* Berengkes
* Grangasem
* Jejeruk
* Jukut Urab
* Komoh
* Lawar
* Nasi Bubuh
* Nasi Tepeng
* Penyon
* Sate Kablet
* Sate Lilit
* Sate pentul
* Sate penyu
* Sate Tusuk
* Timbungan
* Nasi Jenggo
* Tum
* Urutan Tabanan

[sunting] Jajanan

* Bubuh Sagu
* Bubuh Sumsum
* Bubuh Tuak
* Jaja Batun Duren
* Jaja Begina
* Jaja Bendu
* Jaja Bikang
* Jaja Engol
* Jaja Godoh
* Jaja Jongkok
* Jaja Ketimus
* Jaja Klepon
* Jaja Lak-Lak
* Jaja Sumping
* Jaja Tain Buati
* Jaja Uli misi Tape
* Jaja Wajik
* Kacang Rahayu
* Rujak Bulung
* Rujak Kuah Pindang
* Rujak Manis
* Rujak Tibah
* Salak Bali

[sunting] Nusa Tenggara Barat

* Ayam Taliwang
* Sate Bulayak
* Plecing Kangkung

[sunting] Kalimantan Barat

* Lempok
* Sate Manis
* Cah Kangkung Belacan
* Ganepuk Telur
* Manisan Dorong
* Kue Bingka Kentang
* Ayam Bakar
* Kwetiauw Siram
* Tar Piring
* Air Tahu
* Gulai Pakis
* Nasi Tomat
* Dangi
* Sari Kacang Hijau
* Bubur Pedas

[sunting] Kalimantan Selatan

* Soto Banjar
* Amparan Tatak Pisang
* Amparan Tatak Sagu
* Pundut Nasi
* Bingka Barandam
* Putri Selat
* Bakar-bakaran
* Kokoleh
* Gangan-ganganan
* Mandai Basang
* Sambal Goreng Pakasam
* Sate Banjar

[sunting] Kalimantan Tengah

* Juhu Umbut Rotan
* Juhu Umbut Sawit
* Tangkiling

[sunting] Kalimantan Timur

Lihat Daftar masakan dan makanan khas Kalimantan Timur.
[sunting] Sulawesi Utara
[sunting] Penganan

* Apang
* Apang kenari
* Apang coe
* Bagea
* Balapis
* Biapong
* Biji biji Jenever
* Binyolos
* Bluder/brudel
* Bobengka
* Cucur
* Dodol Kenari
* Halua Kenari
* Kacang goyang
* Kacang Kawangkoan
* Klappertaart
* Kolomben
* Koyabu
* Kukis Kelapa
* Lalampa
* Lampu lampu
* Manisan pala
* Panada
* Popaco
* Susen
* Wajik

[sunting] Masakan

* Ayam Rica-Rica
* Ayam isi di bulu
* Ayam Masak Paniki
* Babi Putar
* Babi tore
* Cakalang Bakar Rica
* Cakalang Fufu
* Cakalang Rica-Rica
* Dabu dabu Lilang
* Ikan Bakar Rica
* Ikan Kuah
* Ikan Tikus
* Ikan Ular Patola
* Ikan Monyet
* Lapis
* Midaal
* Masak Paniki
* Nasi Bungkus
* Nasi Jaha
* Pampis
* Pepes Ikan mas
* Ragei/ Sate ba'
* Roa
* RW
* Sa'ut
* Sayor Leilem
* Sayor Pangi
* Sayor Ganemo
* Sayor daong popaya
* Sayor bunga popaya
* Sayor pakis
* Sup Brenebon
* Tinutuan
* Tinorangsak
* Tuturuga
* Woku belanga

[sunting] Minuman

* Es Kacang merah
* Gohu
* Cap Tikus
* Pinaraci
* Saguer

[sunting] Sulawesi Selatan
[sunting] Penganan

* Apang Paranggi
* Baje'
* Bannang bannang
* Barongko
* Baruasa
* Bassang
* Beppa Janda
* Biji-biji
* Bipang
* Bolu Peca
* Bolu rampah
* Cucuru Bayao
* Dadoro'
* Dange
* Deppa Tori/Deppa Te'tekan
* Deppa Kau Kau/sawalla
* Nagasari/Doko'-doko'unti
* Doko doko Cangkuling/ cangkuning
* Golla golla ganepo
* Golla tare
* Bolu Toraja/Indo' Bade'
* Jalang Kote
* Kacang Sinjai
* Katri sala
* Katri mandi
* Kue Putu
* Labu Palu
* Onde onde tawaro
* Pallu Butung
* Paserrek
* Pisang Epe
* Pisang Ijo
* Putu Cangkiri
* Roti pawa
* Sakko sakko
* So'ri
* Tello Penyyu
* Taripang

[sunting] Masakan

* Baro'bo
* Bolu Kambu
* Buras
* Camme Ba'te
* Camme Bendoro'
* Camme Burak
* Camme Tu'tuk
* Coto Makassar
* Dangke
* Kadonteng
* Kajompi'
* Kaladde
* Kapurung
* Lappa'-lappa'
* Lawa
* Mie Titi'
* Nande Kandoa'
* Nande Dalle
* Nasu Cemba
* Nasu To Salukanan
* Pallu Basa
* Pallu Butung
* Pallu Kacci
* Pallu Kaloa
* Pallu Mara
* Pacco'
* Peca sura
* Peco' Tammate
* Pi'ja
* Piong/Lemang Toraja
* Sambala' Bandiki'
* Sarondeng
* Songkolo/Sokko'
* Sop Kikil
* Sop Konro
* Sop Saudara
* Sop Ubi
* Tollo' Burak
* Tollo' Pa'karing
* Tollo' Pammarasan
* Tollo' Semba
* Tollo' Utan Bulunangko
* Tollo' Utan Pangi

[sunting] Minuman

* Ballo/ Tuak
* Kawah
* Sara'bba

[sunting] Sulawesi Tenggara

* Soami (Daerah Buton dan Wakatobi)
* Kambalu (Daera Wangi-wangi)
* Luluta (Daera Wangi-wangi)
* Heb'atu (Daera Wangi-wangi)
* Gule-gule (Daera Wangi-wangi)
* Susuru (Daera Wangi-wangi)

[sunting] Maluku

* Colo-colo
* Papeda
* Nasi Lapola
* Sambal Pepaya
* Acar Kuning Ala Maluku
* Ikan Bakar dengan Colo-Colo
* Sayur Ganemu
* Ulang-ulang
* Pisang Rampai
* Puding Sagu
* Kohu-Kohu dengan Kasbi Rebus

[sunting] Papua

* Ikan Bakar Manokwari
* Aunu
* Ikan Bungkus
* Anuve Habre
* Ikan Kuah Kuning
* Aunu Senebre
* Eurimoo

[sunting] Lain-Lain

* Mi Goreng
* Bihun Goreng
* Nasi Goreng Kari Kambing
* Nasi Goreng Jawa
* Nasi Goreng Jambal Petai
* Nasi Goreng Babat
* Nasi Goreng Kuning
* Nasi Langgi
* Nasi Kuning
* Nasi Begana
* Lontong Kari
* Nasi Goreng Putih
* Resep Kroket Kentang
* Resep Soto Bandung

[sunting] Kue Tradisional Fermentasi

* Kue Mangkuk Gula Merah
* Perut Ayam
* Apem Kuah
* Panada
* Pukis Kelapa
* Pukis
* Apem Kuk
* Apem Tepung Beras
* Apem Ceylon
* Bika Ambon

0

Game Pertama yang Laku US$ 1 Miliyar !

Posted by eggie.gunawano on 00.51




Untuk kali pertamanya, satu judul video game berhasil mencapai penjualan yang begitu fantastis, US$ 1 miliar. Coba bayangkan kalau duitnya dikonversikan ke dalam mata uang rupiah.

Adalah Video game Guitar Hero III: Legends of Rock besutan ActiVision, yang mencatat prestasi gemilang ini sebagai video game pertama yang jumlah penjualannya melampaui nilai US$ 1 miliar.

Jelas, CEO ActiVision Publishing, Mike Griffith dengan bangga mengumumkan
pencapaian tersebut. Tahun lalu ActiVision juga sudah mengumumkan bahwa seri game Guitar Hero telah mencapai angka penjualan US$ 1 miliar untuk seri game keseluruhan.

Namun, inilah pertama kalinya satu titel Guitar Hero berhasil mencapai prestasi yang sama. Griffit pun mengklaim, kesuksesan Guitar Hero berpengaruh positif terhadap industri lainnya, misalnya turut memicu larisnya perangkat musik.
"Musik punya sejarah keterlibatan dengan teknologi dan kami berada di permulaan
dalam bab terakhir sejarah tersebut," paparnya.

Bahkan dengan sedikit jumawa, Griffith mengklaim bahwa popularitas video game
akan melampaui semua bentuk hiburan di waktu mendatang. Ia beralasan, berbagai
jenis hiburan lain seperti film, musik atau TV telah mengalami stagnasi.(detik.com)

0

Teks Pidato Barrack Obama saat Pelantikan

Posted by eggie.gunawano on 00.44
Berikut adalah Teks Pidato Barrack Obama saat Pelantikan



Rekan-rekan sebangsa dan setanah air:

Saya berdiri di sini hari ini terenyak oleh tugas di depan kita, berterima kasih atas kepercayaan yang Anda berikan, dan teringat akan pengorbanan oleh leluhur kita. Saya berterima kasih kepada Presiden Bush atas jasanya pada bangsa kita, dan juga atas kemurahan hati dan kerjasama yang ditunjukkannya pada masa transisi ini.

Sudah 44 warga Amerika yang diambil sumpahnya sebagai presiden. Kata-kata dalam sumpah jabatan itu telah diucapkan dimasa kemakmuran dan dimasa damai. Namun, ada kalanya sumpah jabatan kepresidenan itu diambil di tengah-tengah situasi gawat dan badai yang berkecamuk. Pada saat-saat demikian, Amerika terus melaksanakan tugasnya bukan hanya karena ketrampilan atau visi mereka yang memegang jabatan tinggi, tetapi karena kita rakyat Amerika tetap setia pada cita-cita leluhur kita dan setia pada dokumen-dokumen yang dirumuskan oleh para pendiri negara kita.

Demikianlah adanya, dan memang selalu demikianlah yang harus dilakukan oleh generasi orang Amerika yang sekarang ini.

Memang sudah dipahami bahwa kita sedang berada di tengah krisis. Bangsa kita kini sedang terlibat perang, melawan jaringan kekerasan dan kebencian yang jauh jangkauannya. Ekonomi kita sangat lemah, akibat ketamakan dan tindakan tidak bertanggung jawab oleh sebagian pihak, tetapi juga karena kegagalan kita secara kolektif untuk membuat pilihan-pilihan sulit, dan kegagalan kita mempersiapkan bangsa bagi abad baru. Banyak rumah yang disita, lapangan kerja menurun drastis, bisnis gulung tikar. Asuransi kesehatan kita terlalu mahal, murid-murid sekolah kita banyak yang gagal, dan setiap hari terlihat bukti bahwa cara-cara kita menggunakan energi justru memperkuat musuh-musuh kita dan mengancam planet kita.

Semua itu merupakan indikator krisis, yang didasarkan pada data dan statistik. Yang kurang bisa diukur tetapi tidak kurang pentingnya adalah melemahnya keyakinan di seluruh pelosok Amerika - kekhawatiran terus-menerus bahwa kemerosotan Amerika tak terelakkan lagi, dan bahwa generasi berikutnya harus mengurangi harapannya.

Hari ini saya katakan kepada kalian bahwa tantangan-tantangan yang kita hadapi adalah nyata. Tantangan ini serius dan banyak. Tidak akan mudah diatasi dan tidak bisa diatasi dalam jangka pendek. Tetapi ketahuilah ini, Amerika, semua tantangan ini akan kita hadapi.

Pada hari ini, kita berkumpul karena kita lebih memilih harapan daripada ketakutan, kesatuan tujuan daripada konflik dan pertentangan.

Pada hari ini, kita berkumpul untuk menyatakan berakhirnya keluhan-keluhan kecil dan janji-janji palsu, saling-tuduh dan berbagai dogma lusuh yang sudah terlalu lama mencekik politik kita.

Negara kita masih muda, dengan meminjam kata-kata dalam Kitab Suci, saatnya sudah tiba kita menepiskan sifat ke kanak-kanakan. Saatnya sudah tiba untuk menandaskan lagi semangat kita yang tegar, memilih jalan sejarah yang lebih baik, melanjutkan pemberian berharga, gagasan mulia yang diteruskan dari generasi ke generasi: yaitu janji yang diberikan Tuhan bahwa semua kita setara, kita semua bebas, dan semua layak memperoleh kesempatan untuk mengejar kebahagiaan sepenuhnya.

Dalam menandaskan kebesaran bangsa kita, kita memahami bahwa kebesaran tak pernah diberikan begitu saja. Mencapai kebesaran harus dengan kerja-keras. Perjalanan yang kita tempuh tak pernah mengambil jalan pintas. Perjalanan kita bukan bagi mereka yang tidak-tabah, bukan bagi mereka yang suka bermalas-malas daripada bekerja, atau bagi yang hanya mengejar kekayaan dan menjadi terkenal. Perjalanan kita adalah bagi mereka yang berani mengambil risiko, mereka yang melakukan hal-hal baru dan membuat barang-barang baru. Sebagian mereka menjadi terkenal, tetapi acap kali laki-laki dan perempuan tak dikenal dalam pekerjaan mereka, yang telah mengusung kita di atas jalan berbatu-batu menuju kemakmuran dan kebebasan.

Demi kita, mereka mengemas harta milik mereka yang tak seberapa dan menyeberangi samudera untuk mencari kehidupan baru.

Demi kita, mereka banting-tulang dengan upah minim dan menetap di Pantai Barat, menahankan pukulan cambuk dan mencangkul tanah yang keras.

Demi kita, mereka bertempur dan mati, di tempat-tempat seperti Concord dan Gettysburg, Normandy dan Khe San.

Lelaki dan perempuan ini terus menerus berjuang dan berkorban dan bekerja hingga kulit tangan mereka mengelupas, agar kita bisa mengecap kehidupan yang lebih baik. Mereka melihat Amerika lebih besar dari jumlah ambisi kita secara perorangan, lebih besar daripada perbedaan status keluarga, atau kekayaan ataupun partai atau kelompok.

Perjalanan inilah yang kita teruskan hari ini. Kita masih merupakan negara paling makmur dan paling berpengaruh di Bumi. Para pekerja kita tidak kurang produktifnya dibandingkan dengan waktu ketika krisis ini dimulai. Otak kita masih seinventif seperti pada awal krisis ini, barang dan jasa kita masih diperlukan seperti pada minggu lalu atau bulan lalu, atau tahun lalu. Kapasitas kita tetap tak berkurang. Tetapi masa kita untuk berdiam diri, melindungi kepentingan sempit dan menunda keputusan-keputusan yang tak menyenangkan, sudah harus berlalu. Mulai hari ini, kita harus bangkit sendiri, membersihkan debu yang menempel, dan mulai lagi bekerja memperbaharui Amerika.

Karena kemana saja kita melihat, ada yang harus kita lakukan. Keadaan ekonomi mengharuskan tindakan yang berani dan segera, dan kita akan bertindak bukan hanya untuk menciptakan lapangan kerja baru, tetapi untuk meletakkan dasar bagi pertumbuhan. Kita akan membangun jalan dan jembatan, jaringan listrik dan jaringan digital yang menyuburkan perdagangan dan mengikat kita bersama. Kita akan memulihkan sains ke tempat yang selayaknya, dan menggunakan kehebatan teknologi untuk meningkatkan mutu perawatan kesehatan dan menurunkan biayanya. Kita akan memanfaatkan tenaga matahari, tenaga angin dan lainnya untuk menjalankan mobil-mobil dan pabrik-pabrik kita. Dan kita akan mengubah sekolah dan perguruan tinggi dan universitas untuk memenuhi tuntutan era baru. Semua ini bisa kita lakukan. Dan semua ini akan kita lakukan.

Tentu, ada orang yang meragukan skala ambisi kita - dengan mengatakan sistem ekonomi kita tidak bisa mentolerir terlalu banyak rencana besar. Daya ingat mereka tidak cukup lama. Mereka telah melupakan apa yang dilakukan negara ini, apa yang bisa dicapai oleh laki-laki dan perempuan yang hidup bebas, apabila imajinasi digabung demi tujuan bersama, dan kebutuhan digabung dengan ketabahan.

Yang tidak dipahami oleh mereka yang sinis adalah tanah tempat mereka berpijak telah bergeser, bahwa argumen basi dalam politik yang telah begitu lama menyita waktu kita - tidak lagi berlaku. Pertanyaan yang kita ajukan sekarang bukan apakah pemerintah kita terlalu besar atau terlalu kecil, tetapi apakah pemerintah kita bisa berfungsi, apakah pemerintah bisa menolong para keluarga mencari pekerjaan dengan upah yang layak, asuransi kesehatan yang terjangkau, dan pensiun yang berarti. Apabila jawabannya - ya, kita berniat untuk terus bergerak maju. Apabila jawabannya tidak, programnya akan dihentikan. Dan mereka yang mengatur uang rakyat akan dimintai pertanggung-jawabannya - supaya mengeluarkan uang secara bijaksana, mengubah kebiasaan buruk, dan melakukan bisnis kita dengan jujur - karena hanya dengan demikian kita bisa memulihkan kepercayaan penting antara rakyat dan pemerintah.

Kita juga tidak mempertanyakan apakah kekuatan pasar bebas itu baik atau buruk. Kekuatan pasar bisa membina kekayaan dan memperluas kebebasan kita. Tetapi krisis ini telah mengingatkan kita bahwa tanpa pengawasan yang ketat, kekuatan pasar bebas itu bisa terlepas dari kontrol, dan suatu bangsa tidak bisa makmur untuk waktu lama apabila hanya mementingkan orang kaya. Keberhasilan ekonomi kita tidak hanya tergantung pada besarnya Produk Domestik Bruto, tapi seberapa jauh meluasnya kemakmuran itu, pada kemampuan kita memberikan kesempatan kepada tiap orang yang mau bekerja, dan bukan karena belas kasihan karena itulah jalan yang paling pasti guna mencapai kemakmuran bersama.

Mengenai pertahanan kita bersama, kita menolak dan menganggap palsu pilihan antara keselamatan dan idaman atau cita-cita kita. Para Pendiri Negara ini dihadapkan pada bahaya yang tak terbayangkan, menyusun sebuah piagam untuk menjamin supremasi hukum dan hak setiap orang, sebuah piagam yang diperkuat oleh perjuangan generasi demi generasi. Semua cita-cita ini masih menerangi dunia, dan kita tidak akan meninggalkannya demi mencapai penyelesaian yang cepat. Karena itu, bagi semua orang dan pemerintahan yang menyaksikan pelantikan hari ini, mulai dari kota-kota yang termegah sampai ke desa kecil di mana ayah saya dilahirkan, ketahuilah bahwa Amerika adalah sahabat setia negara dan sahabat setiap lelaki, setiap perempuan, dan setiap anak yang menghendaki masa depan yang damai dan bermartabat, dan bahwa kita siap untuk memimpin lagi.

Ingatlah bahwa generasi-generasi sebelumnya menundukkan fasisme dan komunisme bukan hanya dengan misil dan tank, tetapi dengan aliansi yang kokoh dan keyakinan besar. Mereka memahami bahwa kekuatan saja tidak bisa melindungi kita, dan bahwa kekuatan itu tidak memberi kita hak berbuat sekehendak hati kita. Sebaliknya mereka tahu bahwa kekuatan kita tumbuh melalui penggunaan yang bijaksana, keamanan kita berasal dari adilnya tujuan kita, kekuatan contoh yang kita berikan, dan kerendahan hati serta kesanggupan menahan diri.

Kita adalah penjaga warisan ini. Dibimbing oleh prinsip-prinsip ini, sekali lagi kita bisa menghadapi ancaman-ancaman baru itu yang menuntut upaya lebih besar, bahkan kerja-sama dan pemahaman lebih besar antar-negara. Kita akan mulai secara bertanggung jawab meninggalkan Irak kepada bangsa Irak, dan menempa perdamaian di Afghanistan. Bersama teman-teman lama dan bekas saingan kita, Amerika akan bekerja tanpa lelah untuk mengurangi ancaman nuklir, dan mengurangi bahaya pemanasan bumi. Kita tidak akan minta maaf atas cara kehidupan Amerika, tidak akan goyah dalam mempertahankannya, dan bagi mereka yang hendak mendorong tujuan mereka dengan terror dan membantai orang-orang tak bersalah, kami katakan kepada mereka, semangat kita lebih kuat dan tidak terpatahkan, kalian tidak akan unggul dari kami, dan kalian akan kami kalahkan.

Kami sadar bahwa warisan bangsa yang beraneka warna adalah suatu kekuatan, dan bukannya sebuah kelemahan. Bangsa kita terdiri dari orang Kristen dan Islam, Yahudi dan Hindu, dan bahkan orang-orang yang tidak percaya pada Tuhan. Kita telah dibentuk oleh campuran berbagai bahasa dan kebudayaan, yang berasal dari segala pelosok dunia. Dan karena kita telah merasakan pahitnya perang saudara dan segregasi rasial, dan keluar dari masa kegelapan menjadi sebuah bangsa yang lebih kuat dan lebih bersatu, kita yakin bahwa pada suatu hari nanti semua rasa kebencian akan hilang, bahwa semua garis-garis pembatas antar suku bangsa akan luluh, dan bahwa dunia ini akan menjadi semakin kecil. Kerendahan hati kita akan tampak dengan sendirinya, dan Amerika harus memainkan perannya dalam menyongsong era perdamaian yang baru.

Bagi dunia Muslim, kami akan mencari cara baru ke depan berdasarkan pada kepentingan bersama dan saling menghormati. Bagi para pemimpin dunia yang berusaha menanam bibit konflik, atau menyalahkan dunia Barat atas kesulitan-kesulitan yang dialami masyarakatnya, ketahuilah bahwa rakyat Anda akan menilai Anda pada apa yang Anda bangun, bukan pada apa yang Anda musnahkan. Bagi mereka yang hendak menggenggam kekuasaan melalui korupsi dan kekejian dan membungkam orang yang tidak setuju pada kebijakan mereka, yakinlah bahwa kalian berada pada sisi yang keliru, tapi kami akan mengulurkan tangan jika kalian tidak lagi mengepalkan tinju.

Bagi rakyat negara-negara miskin, kami berjanji akan bekerja bersama kalian untuk membuat ladang kalian subur dan membuat air bersih mengalir, untuk memberi makan tubuh yang kelaparan, dan memenuhi kebutuhan mental. Dan kepada negara-negara seperti negara kita yang relatif menikmati kemakmuran, kita tidak bisa lagi bersikap tidak peduli pada kesengsaraan di luar perbatasan kita, dan kita tidak bisa menghabiskan sumber-sumber dunia tanpa mempedulikan dampaknya. Karena dunia sudah berubah dan kita harus berubah dengannya.

Sambil kita mempertimbangkan jalan yang terbentang di depan kita, kita mengingat dengan rasa terima kasih orang-orang Amerika yang gagah berani, yang pada saat ini, berpatroli di gurun dan gunung yang sangat jauh. Ada sesuatu yang hendak mereka katakan pada kita hari ini, seperti yang dibisikkan sepanjang masa oleh para pahlawan kita yang kini dimakamkan di Arlington. Kita menghormati mereka bukan hanya karena mereka menjaga kebebasan kita tetapi karena mereka menunjukkan arti pengorbanan, kesediaan untuk mencari arti yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Dan pada saat ini, saat yang akan tercatat dalam sejarah generasi - semangat inilah yang harus ada pada kita semua.

Sebanyak apapun yang bisa dan harus dilakukan pemerintah, pada akhirnya kepercayaan dan tekad rakyat Amerika-lah yang diandalkan negara ini. Misalnya kebaikan hati untuk menampung orang yang kena musibah walaupun tidak kita kenal, atau pekerja yang tanpa pamrih rela mengurangi jam kerja mereka daripada melihat seorang teman di-PHK, yang membuat kita keluar dari kegelapan. Adalah keberanian para pemadam kebakaran untuk menerobos masuk ke rumah yang penuh asap, dan juga kesediaan orang tua untuk membesarkan anak, yang kelak akan menentukan nasib kita.

Tantangan kita mungkin baru. Alat-alat yang kita gunakan untuk mengatasinya mungkin baru. Tetapi pada nilai-nilai itulah keberhasilan kita bergantung - yaitu kerja keras dan kejujuran, ketabahan dan berlaku secara adil, toleransi dan rasa ingin tahu, kesetiaan dan patriotisme - semua itu sudah lama ada. Semua itu memang benar. Semua itu telah menjadi kekuatan kemajuan sepanjang sejarah. Jadi yang dituntut sekarang adalah kembalinya kepada nilai-nilai ini. Apa yang diperlukan dari kita sekarang ini adalah era pertanggungjawaban yang baru - suatu pengakuan, dari tiap orang Amerika, bahwa kita mempunyai kewajiban bagi diri kita sendiri, bagi negara kita dan bagi dunia, kewajiban yang kita lakukan dengan senang hati, bukan dengan bersungut-sungut, karena kita tahu tidak ada yang lebih memuaskan bagi jiwa kita, yang merupakan definisi karakter kita, daripada memberikan segalanya untuk menyelesaikan tugas yang sulit.

Inilah pengorbanan dan janji kewarganegaraan.

Inilah yang menjadi sumber keyakinan kita - pengetahuan bahwa Tuhan meminta kita untuk memperbaiki keadaan yang tidak pasti.

Inilah arti kebebasan dan kepercayaan kita- mengapa laki-laki dan perempuan dan anak-anak dari tiap ras dan tiap keyakinan bisa ikut dalam perayaan di lapangan yang indah ini, dan mengapa seorang lelaki yang ayahnya lebih 60 tahun lalu mungkin tidak dilayani di restoran, sekarang bisa berdiri di depan anda untuk diambil sumpahnya sebagai presiden.

Jadi marilah kita hari ini mengenang siapa kita dan sejauh mana jalan yang kita tempuh. Pada tahun kelahiran Amerika, pada bulan yang terdingin, sekelompok patriot berkumpul di depan api unggun yang mulai padam di bantaran sungai yang beku. Ibukota telah ditinggalkan, musuh terus maju, salju tampak berlumuran darah. Pada saat itu, ketika nasib revolusi kita sangat diragukan, bapak bangsa kita memerintahkan supaya kalimat berikut dibacakan kepada semua rakyat Amerika:

"Beritahukanlah pada dunia masa depan, bahwa di tengah musim dingin, saat apapun tiada kecuali harapan dan kebajikan - bahwa kota dan negara, waspada akan bahaya bersama, akhirnya bersatu untuk menghadapinya."

Amerika; Dalam menghadapi musuh bersama, dalam masa sulit kita ini, mari kita ingat kata-kata emas itu. Dengan harapan dan kebajikan, mari kita hadapi bersama sekali lagi sungai beku ini, dan bertahan dari badai apapun yang akan tiba. Biarkan cucu-cucu kita berkata bahwa kita telah diuji dan kita menolak untuk mengakhiri perjalanan ini, bahwa kita tidak mundur dan mata kita terpaku ke ufuk fajar dan dengan berkat Tuhan, kita meneruskan anugerah kebebasan dan mengantarkannya dengan selamat bagi generasi masa depan.

Copyright © 2009 Ganognaztic All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.